Jumat, 09 Desember 2011

Urban


Setiap terbangun di pagi hari, selalu ada rencana yang tersusun di dalam benak diri, akan ke manakah hari ini. Melakukan sesuatu, beraktivitas dan pergi keluar rumah. Menyusuri waktu, mengisinya dengan hal-hal berguna. Berangkat ke kantor bagi karyawan, menuju kampus atau sekolah bagi pelajar, pergi ke pasar bagi ibu rumah tangga dan terus berpeluang bagi yang belum berpenghasilan tetap.

“Cinta” dari album Swami 1989, courtesy of Swami
Tapi apakah pernah terpikir, bangun di satu pagi tanpa rancangan dan susunan rencana?
Bangun dalam kondisi bingung mau berbuat apa karena memang tak ada yang bisa dikerjakan akibat keterbatasan kemampuan. Tatapan mata kosong, memandang waktu yang terus bergulir sampai di penghujung, menjalani hari tanpa ekspresi juga pikiran yang sehat, memadati sudut-sudut jalan dan ujung-ujung gang dengan ketidakmampuan diri dalam berkompetisi di kehidupan.
Sampai ada yang menghampiri, mengulurkan tangan untuk dijadikan orang yang berguna.
Diajari segala kebaikan dalam format agama.
Apapun adanya, segala kebaikan itu harus berguna bagi orang banyak, tak hanya kebaikan dalam sudut pandang sendiri, golongan, apalagi pribadi.
Namun anehnya, ketika kebathilan terpampang gamblang di muka bumi, semuanya diperangi. Dibabat habis atas nama kebenaran dan agama. Berteriak lantang menyebut-nyebut nama Tuhan lantas memukul orang, membakar tempat, bahkan membunuh jiwa-jiwa yang masih labil dan bingung dengan kehidupan di masa sekarang.
Lantas apa bedanya dengan kalimat geram yang dilontarkan saat melakukan?
Tak beda dengan perkelahian jalanan di mana sebelum memukul, sang jagoan harus mengeluarkan kalimat makian dan umpatan kotor demi melumat nyali sang lawan.
“Anjing!”
“Setan!”
“Bangsat!”
“Kont***!” (Sensor!)
“Ngent***!” (Sensor!)
Dan sebagainya, dan sebagainya, lantas aksi itu dilakukan. Memukul, menghantam, menganiaya, membakar tempat, juga membunuh banyak jiwa, seolah kebenaran hanya ada dalam dirinya sendiri tanpa kompromi. Kebenaran subyektif yang tidak mau memperhatikan bahwa objek penderitanya juga masih bingung menghadapi kehidupan yang serba semu, menjalani hari dan waktu dalam labil, berada di tengah-tengah kegalauan masa yang serba membingungkan antara yang baik dan yang buruk, antara yang halal dan yang haram.
Format apa pula yang membuat kita harus mengambil-alih peran Tuhan dalam bentukan penghakiman?
* * * * *
Dalam satu riwayat dikisahkan ada seorang murid dari sebuah pesantren. Satu ketika ia berubah total dari aturan pesantren. Bila di keseharian seragam pesantren adalah putih-putih sebagai simbol kesucian, ia berganti rupa memakai kostum warna hitam-hitam. Hari-hari dilewati dengan selalu menunduk, diam dan tak banyak bicara.
Sampai ada salah seorang temannya yang peduli, bertanya;
“Kamu ini ada apa? Hari-harimu diisi dengan banyak diam dan murung, ditambah lagi kenapa kamu berpakaian hitam-hitam begitu? Kamu mengerti ‘kan kalau seragam pesantren kita itu putih-putih? Nanti kalau Kyai marah bagaimana? Ada apa sebenarnya? Bila ada apa-apa ceritakan ke aku saja, aku ini sahabatmu, siapa tahu aku bisa membantu…”

“Tak ada apa-apa, saya hanya sedang bersedih, saya sedang berkabung…”
“Innalillahi wa inna illaihi roji’un! Siapa yang meninggal? Siapa?”
“Yang meninggal bukan siapa-siapa, kamu pasti takkan mau tau siapa yang meninggal…”
“Eh, kita ini Muslim, sebagai Muslim kita ini bersaudara dan sudah sewajarnya juga kita sebagai sesama Muslim harus saling bantu-membantu dalam kebaikan. Siapa yang meninggal? Aku harus tahu dong!”
“Itu… Tuhanku yang meninggal…”
“Astaghfirullah al adzim! Murtad kamu!”
Si teman itu berlalu meninggalkan santri yang masih saja terdiam dan tertunduk sedih, mengadukan pada Sang Kyai perihal kemurtadan rekannya yang berbaju hitam-hitam. Muka Kyai merah padam mendengarnya dan ia langsung memanggil santrinya yang dianggap sudah menyimpang, menyidangnya, lalu menanyakan segala alasan-alasan atas kemurtadan itu.
“Saya dengar kamu mengatakan tuhan kamu sudah meninggal. Kamu tau resikonya menjadi murtad dengan perkataan itu?”
“Saya tahu Kyai, saya sadar atas apa yang sudah saya ucapkan. Saya juga siap menerima resiko atas apa yang sudah saya ucapkan itu…”
Berdasarkan hukum yang berlaku, santri berseragam hitam-hitam yang dianggap murtad itu lalu dikubur sebatas kepala dan siap untuk dihukum rajam, dihadiri oleh murid-murid lainnya di pesantren. Namun sebelum hukuman dilaksanakan, Kyai yang berusaha menyelami pikirannya, menanyakan lagi ketegasan atas perkataan itu.
“Sebelum hukuman dilaksanakan, saya ingin menanyakan alasan perkataan itu juga permintaan kamu terakhir kali. Apa maksud kamu mengatakan tuhan itu sudah mati? Apa benar menurutmu Tuhan sudah mati? Sebenarnya siapa Tuhan kamu? Apa permintaan terakhirmu sebelum hukuman ini dilaksanakan?”
“Benar Kyai. Tuhan saya sudah mati. Selama ini saya salah memilih Tuhan dan tuhan yang saya sembah itu sudah mati. Saya tak ada permintaan apa-apa. Silahkan bila Kyai ingin menghukum. Saya ikhlas, saya rela…”
Sang Kyai menggeleng-gelengkan kepala. Ada geram karena ilmu yang diajarkannya tak masuk ke otak dan hati muridnya ini. Ia berkata pada santri berbaju hitam-hitam itu sebelum hukuman dilaksanakan.
“Sekarang! Sebutkan kalimat Ilahiyah sebelum hukuman ini dijalankan untuk memudahkan kematianmu! Lancang sekali kamu mengatakan bahwa Tuhan itu sudah mati! Siapa sebenarnya Tuhan yang kamu sembah?!”
“Tuhan yang saya sembah selama ini bukan Allah SWT, tuhan yang saya sembah selama ini adalah iri, dengki, kebencian, kehasutan, kesombongan, dan kebenaran atas dasar subyektivitas pribadi. Tuhan-tuhan saya itu sekarang sudah mati. Silahkan bila Kyai ingin menghukum. Saya sudah siap, saya ikhlas dan saya rela… Asyhadu alla illaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah…”
Batu-batu yang dipegang oleh para guru dan murid di pesantren, yang sekiranya siap dilontarkan untuk santri yang dianggap murtad, terjatuh lunglai dari tangan mereka. Genangan air yang ada di pelupuk mata makin membuncah, tumpah membasahi pipi mereka masing-masing. Sang Kyai dengan hati tak karuan, mengangkat santri yang terkubur sebatas kepala yang dianggapnya murtad tadi, memeluknya erat, lalu menciumnya dengan penuh haru.
“Terima kasih ya Allah, sudah memberikan kami pelajaran yang sangat berharga di pagi ini…”

MATI HATI AKIBAT MAKIAN



Ada salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan, yakni meneriaki pohon. Untuk apa ? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.Inilah yang mereka lakukan, jadi tujuannya supaya pohon itu mati.Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari.Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai akan rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan dengan demikian, mudahlah ditumbangkan. Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati.

Nah, sekarang, apakah yang bisa kita pelajari dari kebiasaan penduduk primitif di kepulauan Solomon ini ? O, sangat berharga sekali! Yang jelas, ingatlah baik-baik bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.

Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda ? Ayo cepat ! Dasar lelet! Bego banget sih. Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan? Jangan main-main disini! Berisik ! Bising !Atau, pernahkah Anda berteriak kepada orang tua Anda karena merasa mereka membuat Anda jengkel ? Kenapa sih makan aja berceceran ? Kenapa sih sakit sedikit aja mengeluh begitu? Kenapa sih jarak dekat aja minta diantar ? Mama, tolong nggak usah cerewet, boleh nggak? Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati? Saya nyesal kawin dengan orang seperti kamu tahu nggak! Bodoh banget jadi laki nggak bisa apa-apa ! Aduh. Perempuan kampungan banget sih !?

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya? E, tolol. Soal mudah begitu aja nggak bisa. Kapan kamu jadi pinter? Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesel? Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku kagak bakal nyesel. Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?

Ingatlah ! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini.

Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai. Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan-lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan. Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan? Nah, tahukah Anda mengapa orang yang marah dan emosional, mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka hanya beberapa belas centimeter. Mudah menjelaskannya. Pada realitanya, meskipun secara fisik mereka dekat tapi sebenarnya hati mereka begituuuu jauhnya. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak ! Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh pada orang yang dimarahi kerena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu. Jika kita tetap ingin hati pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Tapi, sebaliknya apabila Anda ingin segera membunuh nya, selalulah berteriak.

Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.


Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak.

Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran , dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran segala yang dilihat atau didengar di sekitamya.”

4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.
Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)

” Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.

” Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.

” Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.

” Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.

” Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.

” Dilarang bermain dengan hidungnya.

” Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.

” Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

” Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.

” Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

” Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.

” Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

” Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

” Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.

” Dibiasakan membaca “AZhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan

“Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.

” Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.

” Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.

” Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

” Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.

” Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.

” Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
” Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.

” Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.

” Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.

” Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.

” Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

” Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.

” Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.

” Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.

“Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak.” (Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.) . Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.

Tahukah Anda,bahwa metode ini juga digunakan oleh para politikus utk menghancurkan lawan nya.

Sabtu, 26 November 2011

PERAN DAN TUGAS PEREMPUAN DALAM KELUARGA


Wanita (seorang ibu) itu adalah mengurus di dalam rumah suaminya dan mendidik putra-putrinya (Al Hadist Syarif)
           
Peran dan tugas perempuan  dalam keluarga secara garis besar dibagi menjadi peran wanita sebagai ibu, ibu sebagai istri, dan anggota masyarakat. Dalam kesempatan kali ini pembicaraan lebih ditekankan pada tugas perempuan dalam membina kesehatan mental bagi dirinya, keluarganya maupun masyarakatnya. Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan baik, maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan dari peran itu.
            Di samping itu, perempuan harus menguasai cara atau teknik memainkan peran atau melaksanakan tugasnya, disesuaikan dengan setiap situasi yang dihadapinya. Sebagai ibu, pendidik anak-anak perempuan harus mengetahui porsi yang tepat dalam memberikan kebutuhan-kebutuhan anaknya, yang disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Sikap maupun perilakunya harus dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Sebagai seorang istri, wanita harus menumbuhkan suasana yang harmonis, tampil bersih, memikat dan mampu mendorong suami untuk hal-hal yang positif. Sebagai anggota masyarakat, wanita diharapkan peran sertanya dalam masyarakat.
            Keberhasilan melakukan peran di atas, tentunya bukan merupakan hal yang mudah, yang penting adalah kemauan dan usaha untuk selalu belajar.

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA ISLAMI

Wanita itu ibarat sekolah, jika kalian mendidiknya dengan baik berarti kalian sedang mempersiapkan sebuah bangsa dengan baik (Al hadist)

Wanita itu dengan tangan kirinya menggoyang buaian, tangan kanannya menggoyang dunia

Wanita adalah tiang negara. Apabila kaum wanita yang ada itu baik, maka baiklah negara itu. Dan apabila kaum wanita yang ada rusak maka rusaklah negara
(ahlul Hikmah)

 Surga itu ada dibawah telapak kaki kaum ibu (Al hadist)

Pengantar

Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak, maka peranannya dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Tumbuh dan berkembangnya aspek manusia baik fisik, psikis atau mental, sosial dan spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan. Pada dasarnya manusia itu mempunyai potensi yang positif untuk berkembang tetapi apakah potensi itu akan teraktualisasikan atau tidak sangat ditentukan oleh pendidikan dalam  keluarga, seperti yang dituntunkan Rasulullah saw. bahwa:
Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Dalam menghadapi dampak negatif dari perkembangan teknologi yang semakin canggih, para pendidik khususnya orang tua dihadapkan tantangan yang amat berat, hal ini perlu disadari. Sebagai orang tua juga pendidik, kita telah diingatkan oleh Allah SWT akan adanya anak turun yang akan menjadi musuh-musuh bagi orangtuanya sendiri. Seperti yang difirmankan Allah SWT

dalam At-Thagaabun: 14
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereke; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.